PENGERTIAN NEGARA
A. Pengertian
Negara
Secara literal, istilah Negara merupakan terjemahan dari bahasa asing,
yakni state ( bahasa Inggris ), staat ( bahasa Belanda dan Jerman ), dan etat (
bahasa Prancis ). Kata state, staat, etat diambil dari kata bahasa latin status
atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang
memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Secara terminology, Negara
adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintah
yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam sebuah Negara terdiri dari
masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang
berdaulat. Menurut Roger H. Soltao, Negara adalah alat (agency) atau wewenang
yang mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat. Sedangkan menurut islam,
dalam Al-Qur’an dan Al- Sunnah pengertian Negara tidak dijelaskan secara
eksplinsit, hanya terdapat prinsip-prinsp dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dengan mengembangkan paradigma tentang teori khifalah dan imamah.
a.
Tujuan Negara ada bermacam-macam diantaranyalah adalah :
a) Memperluas kekuasaan.
b) Menyelenggarakan ketertiban hukum.
c) Mencapai kesejahteraan hukum.
Unsur-unsur negara Terdiri dari : rakyat, wilayah dan pemerintah.
b. Teori tentang terbentuknya Negara
a. Teori Kontrak Sosial(Social Contract), dibentuk berdasarkan
perjanjian – perjanjian masyarakat.
b. Teori Ketuhanan, dibentuk
oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan.
c. Teori Kekuatan. dibentuk
dengan penaklukan dan pendudukan.
d. Teori Organis Negara disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau
binatang individu yang merupakan
komponen-komponen negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu.
e. Teori Historis Lembaga-lembaga social tidak dibuat, tetapi tumbuh
secara revolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
c. Bentuk-bentuk Negara
a. Negara Kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu
Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh
daerah.
b. Negara serikat
Kekuasaan asli dalam negara federasi
merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatntya,
sementara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar Negeri.
Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos. selain kedua bentuk Negara
tersebut. Bentuk Negara kedalam tiga kelompok yaitu: monarki, olgarki, dan
demokrasi.
B. Hak dan Kewajiban Negara
Hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan kewajiban dan hak warga terhadap negara.
Beberapa contoh
kewajiban negara adalah kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil,
kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara , kewajiban negara untuk
mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat, kewajiban negara memberi
jaminan sosial, kewajiban negara memberi kebebasan beribadah.
Beberapa contoh hak
negara adalah hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintahan , hak negara
untuk dibela, hak negara untuk menguasai bumi air dan kekeyaan untuk
kepentingan rakyat.
Dalam deretan
pasal-pasal beserta ayat-ayatnya UUD 1945 secara jelas mencantumkan hak serta
kewajiban negara atas rakyatnya yang secara jelas juga harus dipenuhi melalaui
tangan-tangan trias politica ala Monteqeiu. Melalui tangan Legeslatif suara
rakyat tersampaikan, melalui tangan eksekutif kewajiban negara, hak rakyat,
dipenuhi, dan di tangan yudikatif aturan-aturan pelaksanaan hak dan kewajiban
di jelaskan. Idealnya begitu, tapi apa daya sampai sekarang boleh di hitung
dengan sebelah tangan sedah berapa jauh negara menjalankan kewajibannya. Boleh
dihitung juga berapa banyak negara menuntut haknya. Bukan hal yang aneh ketika
sebagian rakyat menuntut kembali haknya yang selama ini telah di berikan kepada
negara sebagai jaminan negara akan menjaga serta menjalankan kewajibannya. Negara
sebagai sebuah entitas dimana meliputi sebuah kawasan yang diakui (kedaulatan),
mempunyai pemerintahan, serta mempunyai rakyat. Rakyat kemudian memberikan
sebagian hak-nya kepada negara sebagi ganti negara akan melindunginya dari
setiap mara bahaya. serta berkewajiban untuk mengatur rakyatnya. Hak-hak rakyat
tadi adalah kewajiban bagi sebuah negara. Hak untuk hidup, hak untuk
mendapatkan kerja serta hak-hak untuk mendapatkan pelayanan umu seperti
kesehatan, rumah,dan tentunya hak untuk mendapatkan pendidikan. Semuanya itu
harus mampu dipenuhi oleh negara, karena itulah tanggung jawab negara., kalau
hal itu tak bisa dipenuhi oleh sebuah negara maka tidak bisa disebut sebuah
negara.
Dalam UU No 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air misalnya, di bagian menimbang sudah di jelaskan
atas nama demokrasi, desentralisasi dan keterbukaan maka pengolahan sumber daya
air, masyarkat dapat berperan penuh. Artinya secara tidak langsung sekelompok
masyarakat atau satu orang, bisa kemudian memiliki sumber daya air dan menggunakannya
untuk kepentingannya sendiri. Padahal di pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa
segala macam sumber daya yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak
(air, udara, maupu sumber udara alam lainnya) dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk kepentingan umum. Dapat dibayangkan jika nanti kita akan
membeli air yang mengalir di sampin rumah kita, atau bahkan tidak boleh
menampung air hujan karena itu adalah hasil penguapan sebuah danau yang telah
dimiliki sekelompok atau satu orang saja.
Adapun dalam hal
kebutuhan pokok kolektif (pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan), semua
itu menjadi tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab setiap individu rakyat.
Karena itu, tidak selayaknya Pemerintah membebankan pemenuhan kebutuhan pokok
terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan kepada rakyat; baik
pengusaha maupun buruh. Pengusaha tidak selayaknya dibebani dengan kewajiban
untuk menyediakan jaminan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
keamanan-meskipun ia boleh melakukannya jika mau, apalagi jika itu telah
menjadi bagian dari akadnya dengan buruh. Yang terjadi saat ini, pengusaha
justru sering dibebani oleh beban-beban seperti di atas yang seharusnya menjadi
tanggung jawab negara
C. Negara dan Agama
Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan
(discoverese) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli.
1. Hubungan agama dan Negara menurut paham
teokrasi.
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di
jalankan berdasarkan firman-firman tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat
bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan Agama dan Negara menurut paham
sukuler.
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama
atau firman-firman Tuhan.Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan
dengan norma-norma agama.
3. Hubungan Agama dengan Kehidupan
Manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian
menghasilkan masyarakat Negara.Sedangkan Agama dipandang sebagai realisasi
fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk tertindas.
D. Konsep Relasi Negara dan Agama
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini di ilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara
islam. Sebagai agama (din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga
politik dan sekaligus lembaga agama.
1. Paradigma integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu dan dinyatakan bahwa negara
merupakan suatu lembaga.
2. Paradigma Simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling
membutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak
saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum
agama (syari’at)
3. Paradigma Sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapannya bidangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus di pisahkan
dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman
yang dikotomis ini. Maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang
betul-betul berasal dari kesepakatan manusia. Berbicara mengenai hubungan agama
dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas,
penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena
persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli.
Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan negara
dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud hubungan
Antagonistik adalah sifat hubungan yang
mencirikan adanya ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah
agama.Sebagai contohnya adalah :
Pada masa kemedekaan dan sampai pada
masa revolusi politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang
dapat mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa
implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika
terhadap idiologi politik islam. Hal itu disebabkan pada tahun 1945 dan dekade
1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutkan Negara Indonesia, yaitu gerakan
islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah kelompok belajar
yang bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan belanda ini sangat berbakat
dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di Barat. Pada waktu itu pengetahuan
agama sangat dangkal sehingga mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak
mampu menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan,
nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan
membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama individu.Akibatnya,
aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi atau agama
negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an, mereka juga sering disebut sebagai kelompok
yang secara politik “minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak
dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda.
Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan
kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang
kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.Upaya untuk menciptakan sebuah
sintesis yangmemung kinkan antara Islam dan negara terus bergulir hingga
periode kemerdekaan dan pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk
mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an,
kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada
sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru (
kurang lebih pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal
dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai
kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam
sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk
mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan agama
satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk
mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa
umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga Negara
mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan sebagai out-side Negara maka
konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam
dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif.Hal ini
ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam serta
dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar)
masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat:
1) Struktural, yaitu dengan semakin
terbukanya kesempatan bagi para aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam
Negara.
2) Legislatif , misalnya disahkannya
sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3) Infrastructural, yaitu dengan semakin
tersedianya infrastruktur-infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam
menjalankan “tugas-tugas” keagamaan.
4) Kultural, misalnya menyangkut
akomodasi Negara terhadap islam yaitu menggunakan idiom-idiom perbendaharaan
bahasa pranata ideologis maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam politik
mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu.Namun, harus diakui Pak
Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam menentukan corak hubungan
negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam merupakan kekuatan
yang tidak dapat diabaikan jikaa hal ini dilakukan akan menumbulkan masalah
politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan pemerintahan sendiri terdapat
sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar
keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya.Ketiga, adanya
perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri.
Sedangkan alas an yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh
lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses
mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan ditambah adanya transformasi
pemikiran dan tingkah politik generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang lambat
laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam
Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama
dalam masalah ideologi Pancasila. Sesungguhnya sintesa yang memungkinkan antara
Islam dan negara dapat diciptakan.Artikulasi pemikiran dan praktik politik
Islam yang legalistik dan formalistik telah menyebabkan ketegangan antara Islam
dan negara.Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam
yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam,
merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam dan negara.
A.Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan islam dan negara berawal dari
hubungan antagonistik yang lambat laun menjadi akomodatif dan sikap akomodatif
muncul ketika umat Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan
negara, terutama dalam masalah ideologi pancasila. Oleh karena itu sintesa
dimungkinkan dapat terjadi.Artikulasi pemikiran dan praktik politik Islam yang
legalistik dan formalistik sebagai penyebab ketegangan antara Islam dan
negara.Sedangkan wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam yang
substansialistik merupakan modal dasar.
• Azra, Azyumardi.2003.Demokrasi, Hak
Asasi Manusia Masyarakat Madani. Jakaarta : ICCE UIN
•http://petuahmoenir.blogspot.com/2008/10/gamal-al-banna-relasi-agama-dan-negara.html
• http://hubungan islam dan Negara di Indonesia.
•http://petuahmoenir.blogspot.com/2008/10/gamal-al-banna-relasi-agama-dan-negara.html
• http://hubungan islam dan Negara di Indonesia.
No comments:
Post a Comment